Areal Sawah di Gambut: Pro dan Kontra

Dimasa pandemi ini ada kejadian-kejadian yang merugikan terhadap bidang kesehatan maupun bidang pangan. Oleh sebab itu ada berbagai tindakan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, diantaranya ditetapkan nya pembatasan sosial berskala besar untuk.

Untuk bidang pangan itu sendiri, pemerintah mengambil tindakan untuk membuat areal persawahan di wilayah bergambut.

areal

Sehingga ada pertanyaan dilingkup kampus kami, yaitu Pemerintah Republik Indonesia pada Tahun 2020 ini berencana membuka areal persawahan baru di wilayah bergambut di kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, bagaimana pendapat anda tentang hal ini. Hal apa saja yang menurut anda harus direncanakan dan atau dipersiapkan?

Menurut saya, bahwa pemerintah RI mulai berencana membuka areal persawahan baru di wilayah bergambut di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan merupakan kebijakan pro dan kontra terhadap stakeholder di kawasan bergambut.

Untuk kebijakan pro terhadap stakeholder di kawasan bergambut merupakan kebijakan yang mendukung guna mengamankan pangan di masa pandemi, hingga pemerintah berencana membuka wilayah persawahan.

Dimana masa pandemi Coronavirus disease 2019 (COVID-19) tak hanya memunculkan krisis kesehatan, juga mengancam terjadi krisis pangan. Sehingga organisasi pangan dan pertanian (FAO) mengingatkan dunia potensi kelangkaan dan darurat pangan di situasi pandemi ini, dimana kebijakan pembatasan wilayah di sejumlah negara menyebabkan distribusi pangan terganggu yang menyebabkan setiap negara-negara produsen beras akan lebih memprioritaskan kebutuhan dalam negeri mereka sendiri dan rantai pasok bahan pangan menjadi terganggu. Berdasarkan hal itu munculkan kebijakan pemerintah membuka kawasan persawahan di wilayah bergambut.

Sedangkan untuk kebijakan kontra terhadap stakeholder di kawasan bergambut merupakan kebijakan yang menolak adanya tindakan konversi lahan yang mampu mengakibatkan perubahan iklim.

Hal ini terjadi akibat adanya pengalaman proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah di era Orde Baru, tahun 1995 yang mengalami gagal total, terbengkalai dan menciptakan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Dimana pada kawasan sejuta hektar tersebut rentang terjadinya kebakaran hutan dan lahan hingga kini.

Kebijakan ini bertolak belakang juga karena menurut Nazir (mongabay co.id) BRG menyatakan bahwa soal lahan pangan itu bukan untuk padi atau mencetak sawah tetapi tanaman hortikultura, peternakan, dan perikanan, seperti sagu, talas yang cocok di lahan gambut.

Menurut berbagai sumber yang saya baca untuk mecapai kesuksesan membuka areal persawahan di lahan bergambut perlu dilakukan perencanaan terlebih dahulu, yaitu:

1. Memerlukan kajian terlebih dahulu yang berkaitan dengan topografi lahan, status lahan, kondisi beragam, sistem tata air, aksebilitas, dan siapa yang akan menggarap.

2. Memerlukan tingkat analisis secara komprehensif, mulai dari analisis spasial, verifikasi lapangan, masyarakat dan pasar yang mau membeli.

3. Membutuhkan database tentang kelayakan tanah dan agroklimat. Dimana kelayakan ini menjelaskan bahwa kebijakan ini bisa berjalan pada lahan gambut dangkal atau tipis dengan edapan material aluvial.

4. Memerlukan database kalayakan infastruktur. Dimana kelayakan ini disediakan oleh pemerintah dalam mengelola drainase yang optimal dan mendukung kondisi ingkungan.

5. Memerlukan database kelayakan teknologi. Dimana kelayakan ini disediakan oleh pemerintah untuk mendukung kesuksesan kebijakan tersebut.

6. Memerlukan database kelayakan sosial dan ekonomi. Kelayakan ini berhubungan dengan konflik dan produkstifitas kesuksesan terhadap masyarakat itu sendiri.

Sumber:

Santosa, D. A. 2020. Pengembangan Food Estate dan Kedaulatan Pangan. [YouTube]. https://www.youtube.com/watch?v=NwBtEXUU7_E (diakses pada tanggal 22 Mei 2020).

Salam Lestari,

Lamboris_Pane

Iklan Relaterd

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel